GURUPECINTALITERASI.COM – Karya demi karya, tulisan bu Yulianti menghiasi weblog ini dan meramaikan event dengan tanda pagar #FebruariGambarBicara.
Kali ini beliau bercerita tentang lauk makan anaknya puluhan tahun lalu.
Apa yang diceritakan bu Yuli? Berikut uraiannya.
Baca Juga: Bunga Telang, Si Biru Nan Cantik yang Banyak Manfaat
Telur Ceplok
“Bu, maem,” kata anak laki-lakiku Kuambilkan nasi, sayur bening, tempe bacem, dan kerupuk. Kuserahkan kepadanya. Setelah melihat makanan yang dipiring tidak ada telur ceploknya (telur goreng mata sapi), dia tidak mau makan.
“Nggak mau, gorengkan telur!” pintanya.
“Telurnya habis, Nang, belum beli. Makan ini saja dulu, ya, dengan tempe dan sayur bening. Enak sekali. Tadi pagi kan sudah sama telur, nanti sore ibu beli,” jawabku.
Bukannya makan, ia malah menangis. Aku pun menyuruh kakaknya ke warung membeli telur .
“Nang, ini telurnya,” kuserahkan nasi dengan lauk telur ceplok kesukaannya.
“Asyik,” sambutnya. Tak lupa kuingatkan untuk mencuci tangan dan berdoa sebelum makan. Hatiku senang melihat anakku makan dengan lahapnya, tetapi juga sedih karena tidak mau makan sayuran ataupun lauk lainnya. Selesai makan, dia kembali bermain bersama temannya di halaman.
Telur ceplok yang kumakan siang ini mengingatkanku pada anak laki-lakiku, 21 tahun yang lalu. Saat itu dia masih berumur sekitar 3 tahun. Ia selalu minta telur ceplok untuk lauk makannya. Tidak hanya di rumah, tetapi di mana saja. Ketika di rumah uwaknya, bibi, dan juga neneknya. Sampai semua hapal kalau kami mau datang berkunjung, selalu disiapkan telur ceplok untuk anakku.
Anakku lahir tahun 1999, di Trans SP 8 BTS Ulu. Kakaknya berumur 6 tahun. Suami bertugas di tempat yang jauh, sekitar 90 km. Kami tinggal berjauhan bersama kedua anakku saja. Waktu itu, belum secanggih sekarang. Belum banyak aturan untuk bayi, belum mengenal USG, bayi lahir diolesi madu, belum mengenal MPASI.
Karena kesibukan dan kerepotan, saya terbiasa makan dengan telor ceplok yang praktis karena mudah dan cepat mengolahnya. Pagi harus cepat ke tempat tugas, siang sudah capek dan keburu lapar. Kebiasaan inilah yang membuat anakku tidak bisa makan tanpa telur ceplok, walaupun saya kadang juga memasak sayur dan lauk lainnya.
Kebiasaan ini terus berlanjut sampai ia duduk di kelas 6. Kebiasaan itu mulai berkurang setelah kuantar ke Pondok Pesantren di Magelang. Alhamdulillah, sejak di Pondok, kebiasaan makan telur ceplok berkurang dan mulai mau makan sayuran. Namun, untuk makan daging sapi, kambing, bebek, itik (entok), sampai sekarang tidak mau. Entah apa sebabnya.
Ini pengalaman yang tidak perlu dicontoh. Kita sebagai orang tua seharusnya memberikan menu makanan yang seimbang untuk putra-putrinya di masa pertumbuhan. Ada nasi, lauk, sayur, dan buah agar tercukupi kebutuhan gizinya untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Syukur ada susu, sehingga terpenuhi 4 sehat 5 sempurna.***
13 Februari 2024
Penulis: Siti Yulianti
Disunting oleh PakDSus
Sumber Gambar Feature: https://www.canva.com/design/DAF8wO9eo54/O7aHCWcSVV33HpMLOMr1VQ/edit


Leave a comment