Hadi, Cerpen Pertama Anggota GPLM Semarakkan Februari Bercerita

gurupecintaliterasi.com – Sobat pecinta literasi pasti suka cerpen? Di antara sobat pecinta literasi pasti tidak asing dengan jenis bacaan yang familier ini. Mungkin sobat literasi membaca buku kumpulan cerpen, cerpen di tabloid atau majalah, atau cerpen di buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia.

Cerpen merupakan suatu karya sastra fiksi. Kemasannya berupa cerita yang pendek, jelas dan ringkas. Isinya mengisahkan permasalahan yang dialami satu tokoh saja.

Cerita yang disuguhkan berfokus pada satu konflik permasalahan yang dialami oleh tokoh mulai dari pengenalah karakter hingga penyelesaian permasalahan yang dialami oleh tokoh. Cerpen juga terdiri tidak lebih dari 10.000 kata saja.

Baca juga: Ayo, Kurangi Sampah Plastik di Sekolah!

Berikut, sebuah cerpen karya salah satu Admin GPLM (Guru Pecinta Literasi Musi Rawas), Sdr. Ahsani Takwim.

Mata Hadi Nampak masih sendu dan layu. Sudah enam hari enam malam ia tidak tidur hanya untuk menunggui istri tercintanya. Namun, tubuh Marni masih tetap diam, matanya masih tetap tertutup, mulutnya masih tetap terkunci rapat, seolah-olah ia sedang tertidur nyenyak. Hanya hembusan nafasnyalah yang masih terdengar secara teratur.

Terkadang Hadi merasa frustasi menghadapi kejadian aneh yang selalu menerpanya ini. Padahal apalah dosa Marni. Ia wanita dari keluarga baik-baik, selalu menjadi pribadi yang menyenangkan bagi setiap orang di sekitarnya.

Istri yang baru dinikahi Hadi sebulan lalu itu mendadak jatuh sakit. Sakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh. Sakit yang sama pernah diderita oleh wanita-wanita sebelum Marni. Mereka adalah Surti, Fatimah, dan Maryanti.

Ketiga orang itu, pernah menjadi istri Hadi dan mengalami hal yang serupa. Padahal Hadi menikahi mereka semua dengan cara yang baik-baik tanpa ada pikiran jahat sedikit pun.

Lama mata Hadi menatap tubuh Marni jengkal demi jengkal. Hampir tidak ada cacat sedikit pun pada fisik Marni. Hanya, wanita ini memang bebeda. Marni memiliki wajah yang lebih manis dari pada istri-istri Hadi sebelumnya. Kulitnya putih bersih, rambutnya panjang dan halus. Padahal Marni hanyalah seorang gadis desa yang tak pernah pergi ke salon atau pusat-pusat kecantikan. Bahkan, dalam keadaan sakit seperti ini pun, Marni masih menunjukkan kecantikannya.

Oleh karena itu, sekali ini Hadi tak akan membiarkan kejadian- kejadian sebelumnya terulang kembali. Oleh karena itu, Hadi tidak akan pernah memejamkan matanya hingga Marni bangun dan kembali mengucapkan kata-kata cinta kepadanya lagi.

Bahkan, ia akan dengan senang hati menukar semua hartanya demi kesembuhan Marni. Walau sudah ada dua mantri kesehatan dan seorang dokter yang datang, tetap memberikan hasil yang sama.

Hadi tidak menyerah. Tidak sedikit orang “pintar” yang telah ia datangi agar istri tercintanya sembuh seperti sedia kala.

Sambil duduk di sebelah ranjang Marni, pikiran Hadi mencoba untuk memecahkan permasalahan yang ada. Ingatannya kembali melayang ke masa lalu, masa ketika ia belum hidup bersama perempuan yang terbaring di depannya. Masa itu ia masih sendiri tanpa ada yang menemani.

Ingatanya tertuju pada sebuah wajah seorang gadis yang pernah mengisi kehidupan remajanya di masa lalu. Wajah yang tidak akan pernah bisa ia lupakan, Wulan.

Wulan, gadis yang merupakan pacar pertama yang pernah Hadi miliki ketika masih duduk di bangku sekolah.

Wulan memiliki wajah yang yang sesuai dengan namanya. Wajahnya cerah, secerah bulan purnama. Rambutnya selalu terkuncit rapi. Kata-katanya lembut dan selalu tersenyum kepada Hadi.

Hadi sempat tidak percaya saat gadis itu menerima ungkapan cinta yang dilontarkan olehnya.

Perjalanan cinta mereka tidak jauh berbeda seperti kisah-kisah cinta anak remaja umumnya. Namun, saat mereka menginjak ke kelas tiga SMA terjadi sesuatu yang tidak pernah mereka pikirkan, mendadak datang dan menyergap tanpa mampu mereka hindari.

Ketika itu hari Sabtu, siswa-siswi kelas Hadi mendapat giliran melakukan latihan upacara, karena hari senin nanti adalah giliran mereka menjadi petugas upacara bendera.

Mereka melakukan latihan bersama hingga sore hari. Di sela-sela latihan, Hadi mendekati Wulan lalu berbisik.

“Nanti jangan pulang dulu, ya, kalau sudah selesai.”

“Emang kenapa?” jawab Wulan pendek.

“Ada sesuatu yang ingin aku kasih buat kamu,” bisik Hadi lagi.

“Apa?”

Pertanyaan itu tidak dijawab Hadi, karena ia langsung pergi meninggalkan Wulan.

Wulan hanya bisa mengernyitkan dahi. Namun, ia merasa senang. Ia merasa bangga terhadap Hadi, karena lelaki ini begitu paham akan sifatnya yang suka diberi hadiah.
Akan teapi, entah mengapa perasaan Wulan kali ini berbeda. Ia merasa ada yang beda dari Hadi hari ini. Tidak seperti biasanya Hadi selalu mencoba mengindar darinya. Seolah ada sesuatu yang luar biasa yang ingin disampaikan kekasih hatinya itu kepadanya.

Sekitar pukul empat sore, latihan upacara pun selesai. Mata Wulan terus menelusuri keadaan lapangan sambil berharap bisa menemukan Hadi. Namun, sejauh matanya memandang belum ia temukan sosok yang ia inginkan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk duduk menunggu Hadi di depan ruang komputer. Dipandanginya sekeliling sekolah yang mulai sepi, apalagi ditambah dengan warna langit yang menghitam.

Sekitar 15 menit menunggu, tiba-tiba ada yang menutup matanya dari belakang. Wulan tidak menjerit. Ia hanya tersenyum sambil meronta-ronta manja. Sudah hafal betul orang yang berperilaku seperti itu.

“Sudah, ah, main-mainnya,” ucap Wulan dengan manja sambil tangannya memegang tangan Hadi dan berbalik badan.

Sejenak mereka saling berpandangan mata. Tanpa bicara sepatah pun Hadi menarik tangan Wulan dan berjalan menuju ke ruang kelas. Keadaan kelas yang sepi membuat suara langkah mereka terdengar menggema.

“Ini,” ucap Hadi sambill memberikan sebuah bingkisn kecil kepada Wulan setelah sampai di dalam kelas.

Belum sempat tangan Wulan mengambil bingkisan di tangan Hadi, tiba-tiba petir menyambar dengan keras dan diikuti turunnya hujan yang sangat lebat. Keadaan pun tiba-tiba menjadi hening, hanya suara derasnya air yang menimpa genting sekolah .
Mereka berdua memandang ke luar dengan perasaan yang bingung.

“Aku takut, Had.” Suara Wulan bergetar sambil reflek mendekatkan badannya ke badan Hadi.

“Enggak apa-apa. Kok. Kan ada aku di sini,” bisik Hadi berlagak sebagai pria yang mengayomi.

Kedua tubuh mereka merapat. Saat itu Wulan membuka bingkisan dari Hadi.

“Had,” ucap wulan pelan saat melihat sebuah cincin kacil pada bingkisan tadi.

“Aku, sayang kamu, Lan. Aku enggak mau kehilangan kamu,” bisik Hadi mempererat pelukannya.

Derai hujan yang tertiup angin di luar kelas menghembuskan aroma khas yang menyejukkan. Suara bising air yang menerba genting membuat kedua wajah remaja itu saling mendekat, makin dekat, dan entah siapa yang memulai kedua bibir mereka saling menyentuh, berpagut dalam alunan hujan yang makin menderas.

Keduanya bahkan bagai kerasukan setan dan mereka terus melanjutkan perbuatannya. Dinginnya udara hujan bahkan menghangatkan kedua tubuh remaja yang dimabuk asmara itu hingga suara guntur menggelegar menyadarkan mereka.

Ada beberapa lembar pakaian mereka yang berserakan. Wulan menangis tersedu-sedu. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Kenikmatan yang baru saja mereka rasakan berubah menjadi rasa cemas.

Sambil memungut beberapa lembar pakaian dan mengenakannya kembali, Wulan menyadari dan merasa bahwa hidupnya telah hancur, masa depannya telah tiada.

Melihat Wulan menangis sesenggukan, Hadi mencoba menenangkan.

“Sudahlah, Lan, jangan kau tangisi. Aku janji aku enggak akan ninggalin kamu,” ucap Hadi setelah ia merapikan pakaiannya.

Tiba-tiba, Wulan langsung berdiri dan memeluk Hadi dari belakang. Tangisnya pun tumpah ruah di punggung Hadi. Hadi membalikkan badannya. Ia membalas pelukan kekasihnya itu.

“Jangan tinggalin aku, Had,” pinta Wulan.

“Enggak kan pernah.”

“Janji, Had?” tanya Wulan sambil mendongakkan kepalanya. Pandangannya tajam ke mata Hadi meminta kepastian. Hadi tidak menjawab, ia hanya mengangguk.

“Apa janjimu, Had?” tanya Wulan sambil terus membenamkan mukanya di dada Hadi.

Sementara hujan di luar belum juga mereda.

Hadi yang saat itu masih bingung menjawab apa, akhirnya berbicara sekenanya.

“Aku janji, aku enggak bakalan mencari wanita lain selain dirimu, Lan. Dan apabila aku sampai menikah dengan wanita selain dirimu, hubungan itu tidak akan lebih dari 1 bulan, Tuhanlah yang menjadi saksi janjiku ini.”

Selesai Hadi mengucapkan janjinya, sambaran petir diikuti suara menggelegar
seolah-olah mematri janji yang telah ia ucapkan.

“Bapak,” suara suster lembut membangunkan lamunannya.

Hadi tersentak kaget. Pandangannya nanar. Tiba-tiba ia sadar tentang penyebab beberapa kejadian pahit yang menimpanya. Tentang kejadian yang menimpa istri-istri tercintanya yang dulu-dulu.

Perasaan Hadi semakin kalut, matanya membelalak, dadanya terasa sesak. Bagaimana mungkin janji yang ia ucapkan dulu kini benar-benar menjadi kenyataan. Padahal semua ucapannya waktu itu hanyalah rayuan biasa yang sering ia lontarkan terhadap para gadis yang dipacarinya.

Apalagi, tidak mungkin Hadi menikahi Wulan. Kekasih yang ia renggut kehormatannya di kelas itu meninggal dunia akibat bunuh diri. Ia bunuh diri karena bahwa ia terlambat datang bulan dan mendengar Hadi menjalin cinta dengan gadis lainnya.

Perasaan menyesal kini berkecamuk dalam hati Hadi. Kesedihan dan rasa marah bercampur menjadi satu. Bersama suster yang tadi menegurnya, Hadi pandangi tubuh Marni yang tergolek lemah di sebelahnya. Pandangannya berhenti di wajah Marni. Kemudian ia menjulurkan tangannya untuk menjamah wajah Marni.

Tangan Hadi menyentuh wajah Marni. Ia kaget bukan kepalang. Wajah Marni begitu dingin. Dingin sekali, bahkan tampak lebih pucat dari biasanya. Suster pun memeriksa denyut nadi Marni.

Dengan tangan gemetar, Hadi menaruh jari telunjuknya di lubang
hidung Marni.

“Bersabar, Pak. Ibu telah tiada,” ucap suster lirih.

Tangis Hadi tertahan, dadanya sesak seakan hendak meledak. Sekuat tenaga di tahannya.

“Maafkan aku, Wulan,” gumam Hadi. Setelahnya dunia terasa gelap.

Inderalaya, 15 Oktober 2009
Disunting oleh: PakDSus

#GPLM #FebruariBercerita

Iustrasi lelaki (Sumber: https://www.pxfuel.com/id/desktop-wallpaper-houlm)

2 responses to “Hadi, Cerpen Pertama Anggota GPLM Semarakkan Februari Bercerita”

  1. Desy Arisandi Avatar
    Desy Arisandi

    Kok bagus banget ilustrasinya Pakde. Ceritanya nyesek👍😭

    Like

  2. Budiyanti Avatar
    Budiyanti

    Cerita yang bagus ini.

    Like

Leave a reply to Budiyanti Cancel reply

Saya, PakDSus

Selamat datang di laman Guru Pecinta Literasi Musi Rawas, wadah komunikasi, kreativitas literasi para pendidik lintas jenjang dan mata pelajaran.

Mari terhubung dengan: