gurupecintaliterasi.com – Sebagai guru, Sobat GPLM pasti pernah menjadi pembina upacara.
Apa yang Sobat sampaikan pada saat menjadi pembina upacara? Berikut cerita kiriman Elpi Arida, S.Pd., M.Pd. berjudul Filosofi Botol Air Mineral.
Filosofi Botol Air Mineral
“Kring … kring …,“ Alarm yang kustel berbunyi nyaring menandakan hari telah menunjukkan pukul 04.00 dini hari. Mataku masih begitu berat karena semalam sibuk menonton debat capres 2024 hingga larut malam. Enggan rasanya beranjak dari kasur empukku, namun setiap kali rasa malas menghampiri, hatiku selalu berbisik.
“Ayo Vi bangun, anak-anakmu yang jauh di pulau seberang semangat menuntut ilmu, butuh biaya yang tidak sedikit. Ayo bangun … bangun, jangan malas!”
Jika hati ini sudah berbisik begitu, aku segera bergegas turun dari ranjang dan menuruni anak tangga menuju dapur.
Sejak kedua putriku menuntut ilmu di pulau Jawa, mau tidak mau aku harus menambah penghasilan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Sebagai seorang guru PNS tentu gajiku sebenarnya sudah lumayan, namun hanya cukup untuk biaya SPP-nya saja. Sementara uang jajan dan lain-lainnya, aku harus mencari tambahan penghasilan. Sehingga setiap pagi aku disibukkan dengan membuat dagangan yakni seblak yang kutitipkan di kantin sekolah.
Harga seblak buatanku murah meriah. Hanya dengan uang tiga ribu rupiah, anak-anak sudah bisa menikmati seblak buatanku. Aku bersyukur, seblak yang dititip di kantin sekolah selalu habis. Hasilnya bisa untuk mencukupi kebutuhan keluargaku.
***
Hari ini tidak seperti biasanya aku bangun lebih awal sebelum alarm hape berbunyi, yakni pukul 03.30. Menyiapkan dagangan seblak, menggoreng ayam untuk sarapan dan bekal anak lelakiku, Hafiz, ke sekolah. Setelah semua tugas selesai, aku segera berangkat karena harus menjadi Pembina Upacara.
Pukul 07.20 bel berbunyi. Suara Pak Muji telah menggema melalui pengeras suara. Dengan lantang ia memanggil anak-anak agar segera ke lapangan untuk bersiap-siap mengikuti upacara.
Kulihat anak anak kelas 7.3 telah siap. Semua bertugas sebagai petugas upacara. Sebagai wali kelasnya, aku bangga karena anak-anak kelas 7.3 termasuk anak yang mudah diatur dan bertanggung jawab apabila memikul tugas.
Upacara dimulai. Suasana tenang dan khidmat. Semua anak telah berbaris tegap. Pembawa acara memulai membacakan susunan acaranya satu per satu. Tibalah saatnya Pembina Upacara menyampaikan pembinaan.
Seperti biasanya, aku sebagai pembina mengevaluasi jalannya upacara. Aku katakan bahwa upacara hari ini berjalan baik. Aku pun memberikan pujian untuk para petugas maupun peserta upacara. Selanjutnya aku mengambil sebuah botol air mineral dan menunjukkannya kepada siswa-siswi.
“Anak-anak, coba lihat yang Ibu Pegang. Benda apakah Ini?”
Anak-anak menjawab serentak, “Botol Air mineral Bu.”
Aku pun melanjutkan pertanyaan, “Berapa harga sebotol air mineral ini?”
“Saya, Bu!” Arina, anak kelas 9.1 mengacungkan jari.
“Arina, silakan!” Aku mempersilakan Arina menjawab.
“Tiga ribu, Bu. Tapi, ada juga yang empat ribu.”
“Baik, terima kasih, Arina. Anak-anak, berarti harganya berkisar tiga sampai empat ribu, ya.
Anak-anak terlihat antusias dengan keterangan yang aku berikan.
“Jika botol ini isinya Ibu ganti dengan air juz, kira-kira berapa ya harganya?”
Anak-anak pun berebeut menjawab dan berteriak dengan lantang.
“Kalau jus biasanya lima ribu sampai dengan tujuh ribu, Bu.”
Aku semakin senang karena anak-anak bisa diajak diskusi dengan baik, meskipun mereka dalam keadaan berdiri di lapangan mengikuti upacara.
Aku pun melanjutkan pertanyaan.
“Nah, jika botol ini ibu ganti isinya dengan madu, kira-kira berapa, ya, harganya?”
“Seratus ribu, Bu!” jawab anak-anak semakin keras.
“Berarti harganya naik berpuluh-puluh kali lipat. Mengapa madu harganya mahal? Karena madu memiliki khasiat dan manfaat yang sangat banyak untuk kesehatan manusia.”
“Baiklah, Anak-anak! Terakhir, seandainya botol ini ibu isi dengan air comberan atau air got, apakah ada yang mau membelinya?”
Anak-anak terdiam sambil menggelengkan kepalanya.
“Nah, Anak-anak pelajaran apa yang bisa kita ambil dari botol air mineral ini?”
Anak-anak diam dan mulai berpikir, namun tidak ada yang berani menjawab.
Aku melanjutkan, “Anak-anakku, pelajaran yang bisa kita ambil dari botol ini bahwa kita sebagai manusia harus mengisi hari-hari kita dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat sehingga kita akan dihargai teman, orang lain, dan juga Allah SWT. Semakin banyak kita berbuat baik maka semakin tinggi nilai yang kita dapatkan. Begitupun sebaliknya, jika hari-hari kita diisi dengan hal-hal yang buruk maka kita tidak akan dihargai dan disenangi orang lain. Bahkan tak ada yang mau berteman dengan kita. Mau jadi madu atau mau jadi air comberan?”
Suara menggema anak-anak serentak menjawab, “Madu, Bu!”
Nah, kalau mau jadi madu, ayo, mulai sekarang menjadi siswa yang selalu berbuat baik, jujur, menghargai guru, dan bersemangat dalam menuntut ilmu. Tinggalkan hal-hal yang tidak baik seperti tidak mengerjakan tugas, mencuri, membully atau merundung teman, dan lain sebagainya.
Pembinaan selesai, peserta upacara memberikan tepuk tangan. Setelah upacara selesai ada satu anak yang menghampiriku. Anak itu menyalami dan mencium tanganku.
“Bu, filosofi botol air mineralnya sangat bagus, Ibu lihat di Google ya, Bu?” tanyanya sambil tersenyum penuh arti.
Aku tersenyum dan memberikan dua jari jempol kepadanya.
#GPLM #FebruariBercerita #FebruariGambarBicara
Ditulis oleh: Elpi Arida
Editor: PakDSus

*) Ilustrasi botol air mineral (Sumber: pngwing.com)


Leave a reply to Lina Cancel reply