Cinta Pertama (Bagian-1)

Ilustrasi (Dok. PakDSus Design by DALL.E)

CINTA PERTAMA

Oleh: Angel


“Atas nama Lia,” teriak seorang pramusaji di salah satu kedai kopi. Lia pun kaget dan tersadar dari lamunan panjangnya. Namanya dipanggil. Ia mencoba beranjak dari tempat duduknya mengarah meja saji sang barista yang sedang meracik pesanan seorang gadis belia yang mengenakan hoodie pink dengan wajah ditutupi masker putih.

Lia mengambil satu cup pesanan Choco Hazelnut yang sudah tertulis “LIA ☺”. Setelah mengambil pesanannya, Lia pun kembali ke kursinya yang menghadap jendela dengan mendengarkan sebuah lagu sendu di balik handsfree yang baru dibelinya kemarin.

Tak lama sembari menikmati musik, di balik jendela si gadis mungil yang menunggu tadi melintas di hadapan Lia. Ia memandangnya sekilas. Teringat pada adiknya yang berada di perantauan sana. Persis sama perawakannya. Bertubuh mungil berkulit putih, rambut ikal sebahu. Hanya saja gadis itu tidak berkacamata. Usianya pun sepertinya sama. Sekitar 25 tahun. Tak lama sosok gadis itu akhirnya menghilang di ujung pandangannya. Ia pun kembali masuk pada lamunannya yang sempat terjeda.

“Hancur rasanya, Nak, kalau harus kamu lakukan seperti ini. Bapak tau kami ini orang tua yang miskin, tapi apa harus kamu perlakukan seperti ini? Kamu buang kami setelah hari ini?”.

Derai air mata yang tak pernah-pernahnya mengalir sepanjang puluhan tahun Lia mengarungi hidup. Lia tak sanggup mendengarnya, ia menundukkan kepala, air matanya mengalir tak terhenti. Tak jauh darinya suaminya berdiri mendekati sang ayah mertua kemudian memeluknya dan mencoba untuk menenangkan sang ayah.

“Bapak sakit-sakit, Nak. Jangan kamu perlakukan kami kayak gini. Kami ke sini karena kami sayang sama kamu. Jangan, ya, Nak. Jangan pernah lakukan itu,” isak sang ayah.

Di hadapan Lia juga terbujur lemah sang bunda yang menangis begitu sakit, memegang kaki Dela, mengguncang-guncangnya dan juga berteriak.

“Kak, … apa jadinya kami, nanti, Kak. Ibu sayang sama kamu. Gak tau lagi gimana rasanya sakit ibu ini. Sesak, Kak. Jangan, ya, Kak. Jangan!” raungan itu bersamaan dengan tangis yang tak lagi bersuara.

“Iya, Pak, Bu. Aku janji, gak akan melakukan apa yang Bapak Ibu khawatirkan. Do’akan aku kuat, ya. Aku janji gak akan ngelakuinnya.”

Dela pun menangis sesenggukan menjawab Ibunya sembari mencoba merangkul sang Ibu untuk kembali duduk di kursi. Tapi tubuh Ibu melawan untuk diangkat. Ingin berontak dan menangis sejadi-jadinya.

Lia pun mencoba mengangkat tubuh Ibu, “Bu, semalam ibu sudah janji, kan? Ayo, naik ke kursi. Ibu gak boleh gini. Ayo, Bu ….”

Sebelum kejadian itu, malamnya ibu memang berjanji pada Lia untuk tidak meraung sejadi-jadinya dengan apa pun yang akan dihadapinya ketika bertemu dengan Dela nanti. Lia tau, ibunya adalah orang yang paling tersakiti ketika hal yang ditakutkan akan terjadi pada anak perempuan bungsu kesayangannya itu.

Tak juga kuat untuk mengangkat ibu untuk naik ke kursi, Dela dan Lia pun bersama-sama mencoba mengangkat sang ibu untuk duduk di tempat tidur. Mulai terangkat dan mengikuti arah ke mana akan dibawa.

“Kalian berdua anak perempuan ibu. Kalian berdua ibu sayangi,” tangis ibu sembali mengelus wajah Dela dan Lia.

Dalam ruangan itu penuh dengan haru. Bapak, Ibu, Lia dan suaminya menangis menatap dan memeluk Dela.

“Dela janji ga akan melakukan apa yang Bapak Ibu khawatirkan. Tapi doakan aku kuat ya, Bu, Pak.”

Tangis Dela sangat dalam. Seperti sesak dan ada yang mengganjal di hatinya. Mungkin sulit untuk disampaikan, seperti melawan hatinya. Namun, ia mencoba menenangkan kedua orang tuanya.

“Iya, Kak,” jawab ibu dengan tersedu-sedu. “Kakak sehat-sehat, ya. Janji, ya, Nak.”

“Iya, Bu. Aku janji” ucap Dela

“Pulanglah hari ini ke rumah dengan kami, ya!” pinta ayah yang ada di belakangnya dengan tetap menangis menatap Dela. “Ga, Pak. Aku butuh waktu dan ketenangan. Aku mau sendiri dulu.”

“Ya sudah, tapi hati-hati, ya, Nak. Pegang janjimu, ya. Kalau kamu ingkar, akan lebih sakit untuk kami, Nak. Ga tau lagi apa yang akan kami lakukan.” isak ayah yang semakin dalam. Dela hanya coba mengangguk menahan senggukannya.

Holan, suami Lia, mendekati Dela dan memegang bahunya. “Dek, gak da tempat yang lebih nyaman selain keluarga. Inilah keluargamu, Dek. Jagalah Bapak Ibu. Kalau kamu sudah tenang dan rindu rumah, bilang, ya, biar kami jemput.” Dela hanya sesenggukan sambil menganggukkan kepala.

“Kita berdoa, yok, Pak.” pinta ibu masih dalam tangisnya. 

Tak lama semua mendekat. Bapak memegang tangan Dela. Ibu merangkul Dela dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggenggam erat jemari Lia. Holan memeluk Bapak dari belakang sembari menumpangkan tangan kirinya ke atas kepala Dela. Sekejap ruangan itu hening dan Bapak memimpin doa.

Dalam doanya bapak memohon dalam tangis. Seluruh keluarga pun turut haru dalam doa yang tulus. Semoga kuasa Tuhan bekerja atas hati dan jiwa tiap anggota keluarga. Aamiin.

Doa pun selesai. Setiap orang mengusap air matanya di wajah masing-masing. Dela pamit kepada Bapak dan Ibu. Mencium tangan dan memeluk satu demi satu. Masih tetap dengan permohonan yang sama, agar Dela pegang janjinya. Bapak dan Ibu pun memeluk kembali dan mengusap kepala Dela serta mencium kening anak perempuannya itu.

“Ibu udah gak sedih lagi, Kak” sambil mengusap air matanya dan mengubah raut wajahnya menjadi lebih riang. “Ibu kepikiran terus setelah kakak telpon malam itu. Ibu sampai gak selera makan, mau ngapa-ngapain pun tak lagi bertenaga. Ibu terus kepikiran,” cerita ibu mengingat kembali kejadian malam itu. 

“Udah, jangan sedih lagi. Doakan aku kuat ya, Bu. Ibu jaga kesehatan juga dan harus makan, ya,” ucap Dela. ” Iya, ibu ga sedih lagi kok” sela sang ibu. “Apa iya ibu ga makan? Perasaan kemarin makan kue deh.” Lia pun mencoba mencairkan suasana. “Iya, tapi kan dikit,” jawab ibu manja sembari menahan air matanya untuk keluar lagi.

Dela dan Lia pun tertawa kecil. “Ibu bohong, katanya gak makan,” Dela tertawa sembari menangis kecil.

Usai bercanda, Dela pun pamit untuk pergi membawa tas ransel kecil di punggungnya. Sebelum meninggalkan ruangan, Lia memeluk dan mencium pipi Dela.

“Kalau kamu tidak baik-baik saja, maka aku pun tidak baik-baik saja. Kamu adikku yang tersayang,” bisik Lia lirih. Terakhir Dela mendekati kakak iparnya dan memeluknya. Setelah itu Dela meninggalkan ruangan itu dengan diantarkan ibu keluar.

Ruangan itu pun sedikit berubah menjadi lebih tenang. Tidak seharu malam itu, ketika Dela tiba-tiba mengabarkan hal yang mengangetkan semua orang.

Bersambung……

Editor: PakDSus

One response to “Cinta Pertama (Bagian-1)”

  1. Pak D Susanto Avatar

    Menunggu sambungan ceritanya. Yang sama dengan saya, komen!

    Like

Leave a comment

Saya, PakDSus

Selamat datang di laman Guru Pecinta Literasi Musi Rawas, wadah komunikasi, kreativitas literasi para pendidik lintas jenjang dan mata pelajaran.

Mari terhubung dengan: